MALILI, RADARLUWURAYA.com – Realitas kesenjangan sosial dan ekonomi di lingkar tambang PT Vale Indonesia Tbk, masih menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat.
Hal itu juga memantik Pemegang Mandat Adat Pancai Pao, Abidin Arief To Pallawarukka, SH, untuk ikut angkat bicara.
Pancai Pao sebagai pemegang amanah dalam meluruskan tatanan adat, melihat kondisi itu banyak dipengaruhi karena kekacauan adat di lingkar tambang.
“Tidak bisa kita pungkiri, tatanan adat di Matano itu sudah rusak. Terjadinya dualisme Datu Luwu, di Kedatuan Luwu, ikut berdampak terhadap dualisme pengurus adat di Matano,” tandasnya.
Abidin menyebutkan, dualisme dan persaingan antar beberapa kubu pengurus adat, membuat masyarakat adat jadi korban.
“Makanya, kita juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan PT Vale, namun kita juga harus instrospeksi diri. Kalau semuanya menginginkan kondisi masyarakat berubah, maka harus bersatu. Jangan pelihara ego masing-masing,” tegas Abidin.
Ia menduga, kesenjangan yang terjadi bukan karena PT Vale tidak pernah memerhatikan. Namun kemungkinan ada oknum-oknum yang mendominasi, utamanya di kalangan tokoh adat.
“Jadi saya rasa, kalau memang serius memperjuangkan masyarakat adat, maka harus berbenah. Bersatu. Duduk bersama untuk membicarakan nasib orang banyak,” sarannya.
Abidin menyebutkan, pihaknya sejak beberapa tahun ini telah melakukan langkah perbaikan tatanan adat di Matano, namun susah terwujud, karena masing-masing mempertahankan ego dan kepentingan kelompok, tidak memikirkan kepentingan masyarakat adat secara keseluruhan.
“Jadi sekali lagi, mari kita introspeksi diri, kemudian duduk bersama. Lalu memanggil perusahaan untuk bersatu membantu masyarakat. Bagaimana perusahaan bersatu, kalau kita sendiri tidak bersatu untuk kebaikan masyarakat,” tegasnya.
Abidin juga melihat, di lingkar tambang, juga muncul beberapa lembaga, yang mengatasnamakan adat. Namun tak mampu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat adat.
Bahkan, kata dia, salah satu lembaga atas nama adat, telah mendapat kucuran dana dari Vale, namun kemungkinan tidak menyentuh ke akar rumput.
“Informasi yang saya dengar, ada lembaga Badan Pekerja Masyarakat Hukum Adat (BPMHA) yang dijadikan sebagai pemegang kontrak lahan penghijauan sekitar 50 hektar dari PT Vale,” bebernya.
Abidin mengatakan, hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial yang bisa berdampak konflik sesama masyarakat hukum adat, khususnya para anak suku.
“Kita tidak tau, siapa dan kenapa ada yang namanya BPMHA. Apa lagi, saya dengar, BPMHA ada keinginan untuk mengelola dana pembinaan masyarakat hukum adat sebesar 50{c53099ab71f7445fefabaf08fa71f254a6427fde6b5facd4a5a5961569a67880}. Padahal, di dalam BPMHA, yang tergabung hanya didominasi satu kelompok. Alangkah lebih bagusnya, kalau kelompok netral yang dipercayakan untuk mengelola itu. Sehingga pembagiannya ke masyarakat bisa merata,” katanya.
Abidin mengatakan, kalau PT Vale mengakomodir satu kelompok saja, maka akan timbul gejolak karena kecemburuan. Makanya, di Kedatuan Luwu pun, PT Vale akan dilema. Sehingga lebih baik diserahkan ke kelompok yang netral, yang bisa mengomunikasikan kepada kedua kelompok adat ini. (*)
Komentar