Oleh: HENDRA (Ketua Panwas Kecamatan Mappedeceng Kabupaten Luwu Utara Pemilu 2019)
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat hukum dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum NKRI ini terbentuk. Telah terbentuk tatanan dan struktur sosial, masyarakat adat, Hukum adat, dan nilai-nilai lokal yang tumbuh dan berkembang bersama dengan masyarakatnya.
Oleh karena keberadaan desa jauh sebelum adanya Negara ini maka pemerintah melalui kebijakannya bercita-cita menata Desa dengan baik tanpa menghilangkan apa yang telah ada di Desa yang tumbuh sesuai dengan cirinya masing masing. Memberikan penghormatan dan pengakuan terhadap desa yang memiliki hak-hak tradisional atau dalam istilah lain hak asal-usul Desa.
Pengkuan itu dapat kita lihat pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 18b ayat (2) bahwa Negara mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih ada dan sesuai dengan prinsip NKRI.
Salah satu tujun Negara memberikan pelayanan yang maksimal agar tercipta sebuah keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia di semua lapisan masyarakat termasuk dalam proses demokrasi local di Desa. Dalam pandangan politik Desa adalah masyarakat Demokratis murni atas dirinya sendiri yang menghasilkan sebuah keputusan berdasar pada hasil musyawarah, dan rembug yang selalu mempertimbangkan kepentingan masyarakat banyak.
Salah satu proses “Demokrasi Asli” bangsa ini yang harus bersama sama kita jaga sebagai warisan bangsa adalah proses pemilihan kepala desa (Pilkades) yang sejak dahulu telah berlangsung di nusantara ini. Sehingga ada beberapa hal yang menjadi wacana diskursus berkenaan dengan pilkades serentak ke 3 di Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.
1. Penyelesaian perselisihan pilkades.
Di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 26 sampai dengan pasal 47 membahas tentang Kepala Desa yang pada dasarnya menjelaskan kewenangan, hak dan kewajiban, tata cara pemilihan, pemberhentian kepala desa. Selanjutnya di Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Desa terdapat pengaturan tentang kepala desa secara teknis yakni mulai pasal 40 sampai dengan 60 namun tidak terdapat pembahasan yang mengatur tata cara pemilihan Kepala Desa, sehingga terkadang setiap prosesi pemilihan masyarakat Desa terombang ambil dalam penyelesaian permasalahan pemilihan.
Sebab tidak adanya aturan teknis pelaksanaan seperti layaknya pemilu atau pilkada yang jelas lembaga yang bertanggungjawab dalam proses pelaksanaanya. Walaupun di Undang Undang Desa Pasal 37 ayat (6) yang berbunyi: “ dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perseisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)”.
Pasal tersebut memberikan ruang penyelesaian namun sangat memiliki batas waktu dan sekali lagi tidak memberikan penjelsan teknis pelaksaaan yang pada akhirnya semua permasalahan di kembalikan ke Desa untuk diselesaikan dengan cara masing masing Desa.
Semua hiruk-pikuk permasalahan dalam proses pemilihan kepala desa diserahkan kepada Desa diluar tindak pidana yang tentu ditagani Polri dan TNI selaku pihak keamanan walau secara teknis administrasi ada panitia pemilihan Kepala Desa, namun tidak miliki kewenangan jika terdapat pelanggaran pada proses antar calon dilapangan dan permasalahan hasil pemilihan.
Proses penetapan hasil pemilihan kepala Desa wajib diselesaikan oleh Bupati selama 30 hari terhitung sejak panitia meyerahkan hasil pemilihan. Jalur lain jika memungkinkan sesuai dengan kewenangan bupati, dapat dijelaskan tata cara penyelesaian permasalahan melalui peraturan daerah (Perda), Sebagaimana Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Menteri dalam Negeri nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa mengamanatkan penyelesaian masalah terkait pemilihan kepala desa diatur dengan peraturan daerah.
Baik mengenai Tata Cara Pemilihan, Pencalonan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa serta mekanisme pengaduan serta penyelesaian masalah diatur dengan Perda.
Namun jika belum melahirkan kepala desa yang sah karena disebabkan gugatan calon Kepala Desa yang bermasalah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), maka Bupati akan menunjuk Pejabat (Pj) sementara untuk menjalankan pemerintahan di Desa, Sebagaimana diatur di dalam Pasal 40 ayat 3Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa “Dalam hal terjadi kekosongan jabatan kepala Desa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala Desa serentak.
Bupati/Wali Kota menunjuk penjabat kepala Desa”, sehingga terkadang calon kepala Desa yang bermasalah menempuh jalur lain dengan pertimbangan biaya dan waktu yang pada akhirnya metode “alternative dispute resolution” atau musyawarah antar pemangku kepentingan yang saling berembuk menghasilkan keputusan terbaik untuk Desa menjadi pilihan disebabkan tidak adanya instrument lembaga yang menangani dengan serius bentuk penyelesaian pelanggaran pemilihan kepala desa.
Akibat yang dapat timbul dikalangan masyarakat jika proses pilkades tidak sesuai dengan harapan adalah ketidakpercayaan pada hasil pemilihan dan dapat berdampak pada dinamika demokrasi selanjutnya, sehingga otomatis akan berpengaruh pada proses social, mengingat aktivitas di masyarakat sangat dekat bahkan akan terbawa dengan waktu yang cukup lama bahkan berdampak pada silaturahmi dan aktivitas lainnya.
Sehingga untuk dewasa ini perlu penanganan oleh pihak terkait untuk melakukan upaya pencegahan, Misalkan melakukan pendekatan formal kepada semua stockholder agar bersama sama menahan diri dan tidak melakukan tindakan tindakan yang mencederai proses pilkades, Mengingat Pilkades adalah bagian dari pertarungan ketokohan, Keluarga dan wibawa. Kemudian tetap berkoordinasi dengan aparat Polri/TNI untuk tetap menjaga dan melakuan tindakan secepat mungkin terhadap hal hal yang dianggap dapat menjadi pemicu pelanggaran.
2. Pilkades bukan bagian dari Pemilu/Pilkada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E ayat (2) berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Sangat jelas Tidak menyebutkan pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dalam pasal tersebut. Sehingga pilkades tidak masuk dalam rezim pemilu/Pilkada, secara historis memang Desa memiliki pondasi demokrasi local yang kuat dan mandiri, Hak aka nasal usulnya sehingga memerlukan perlakuan khusus. Ada beberapa fakta yang cukup membedakan Proses Pilkades, Pemilu/Pilkada itu berbeda diantaranya:
a. Secara definsi didalam Undang Undang pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 Ayat (43) “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Berbeda dengan definisi Daerah Kabupaten maupun Provinsi
b. Secara periode, Kepala Desa Masa jabatannya selama 6 Tahun dan dapat dipilih kembali secara berturut turut maksimal 3 periode sebagaimana yang dijelaskan pada Undang Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 berbeda dengan masa jabatan Bupati, Gubernur bahkan presiden yang hanya maksimal 2 periode.
c. Pilkades tidak memiliki instrument lembaga penyelenggara seperti proses pelaksanaan Pemilu dan pilkada, Yang memiliki lembaga pelaksana teknis yaitu Komisi pemilihan Umum (KPU), Lembaga pengawasan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan (DKPP) beserta turunan Lembaga Ad Hocnya serta mahkama konstitusi (MK) Sebagai lembaga peradilan pemilihan.
d. Dalam Pilkades masyarakat langsung memilih calon kepala desa tidak lagi melalui penjaringan partai politik untuk menjadi pemimpin seperti Bupati, Gubernur dan presiden.
Lembaga yang telah dibentuk oleh Negara melaksanakan Pemilu/Pilkada khususnya KPU dan Bawaslu dan penyelenggara ad Hoc terkadang menjadi bulan bulan dan perbandingan oleh masyarakat yang melaksanakan pilkades, sehingga timbul perbandingan perbandingan yang harus diluruskan dan dilakukan proses pendidikan demokrasi oleh pihak terkait agar masyarakat benar benar faham bagaimana proses dan tahapan demokrasi itu berjalan.
3. Menjaga marwah Demokrasi Desa.
Jika menginginkan proses pilkades tidak lari dari upaya melahirkan pemimpin Desa yang benar benar lahir dari keinginan masyarakat sesuai situasi dan kondisi Desa dan masyarakatnya dan memberikan kepastian hukum terhadap proses pemilihan kepala desa maka perlu dilakukan upaya perubahan regulasi dan membentuk penyelenggara lembaga Ad Hoc atau memberikan peran dan tanggungjawab kepada KPU dan Bawaslu dalam tetap merawat dan mengawal proses dan pendidikan Demokrasi secara netral di tengah masyarakat serta membentuk lembaga pengadilan khusus perselisihan hasil pemilihan kepala desa seperti Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) yang bertugas selama proses pilkades berlangsung sehingga semua tahapan dapat berjalan dengan tidak membuka ruang kepada pihak pihak yang dalam proses kepentingan telah terkontaminasi politik secara massif sebab desa adalah pondasi demokrasi bangsa yang harus bersama sama kita jaga keadilan, keamanan, dan kesejahteraannya. (***)
Komentar